Adaptasi dari Jakarta ke Jogja - Awal-awal gue nikah sama Eki, gue menekankan berkali-kali kalau "YOU HAVE TO BE VERY NICE TO ME BECAUSE MY HARDSHIP WILL BE A HARD SHIP”. Gue lahir di Jakarta dan tinggal di Jakarta coret, i love this city so much. Gue suka sama pressurenya, suka sama ambisinya, suka sama sat-set-sat-set-nya, sama hiruk pikuk, and lastly; gedung-gedungnya.
I felt alive when i experienced the cityscape from my Gojek ride. Gue merasa bahagia banget pas menyusuri perumahan Menteng, TIM, dan perkotaannya.
Gue punya mimpi masa tua, bahwa gue akan menua di apartemen dengan view city lights. Gue pingin hidup selamanya di gemerlap lampu-lampu ini, i love this city so much.
Lalu BOOM gue berjodoh dengan orang Jogja. Jogja sangat bertolak belakang dari Jakarta, gue ga bisa liat pemandangan gedung-gedung cantik, bertualang dengan KRL, mampir ke food chain luar yang baru buka di Indonesia; bertolak belakang dengan fantasi gue di masa tua.
Maka dari itu, sebelum menikah gue punya keraguan dan rasa pesimis yang SANGAT BESAR. Sampai-sampai gue pernah bilang gini ke Eki,
“Marrying you is such a high price to pay”
Berkali-kali gue mengiba bahwa pengorbanan gue sangat besar dalam menikahi dia, bahwa gue all in dalam hubungan ini, bahwa gue akan ‘tersembelih’. Segelisah itu gue dalam menghadapi perpindahan kota dan hidup.
Eki most of the time santai, tapi ada masa-masanya dia ketrigger, dan itu normal banget karena plisss banget gue udah di tahap terrorizing him. Hampir intens setiap hari gue begitu ke doi.
Gue takut gue kehilangan segalanya, gue tuh resign, pindah kota yang mana job-job gue kan di Jakarta semua, lalu gue kayak... gila gua start from 0.
Gue bahkan apply-apply lowongan kerja di website pencari kerja, se-desperate itu gue membayangkan gue resign dan pindah ke kota baru.
TAPI ini kan harus dijalanin ya, kalau mau ma Eki ya harus mau ke Jogja, titik.
Not that i hate Jogja, but i LOVE Jakarta, Tangerang, dan sekitarnya.
Fast forward sekarang gue ngetik ini di Jogja, tepatnya di kamar kami yang baru renovasi.
Perasaan gue lebih ke kaget karena ternyata adaptasinya sangat nyaman, gue udah bayangin kalo gue akan nangis-nangis tengah malam, ternyata nggak sama sekali. Detik pertama gue di Jogja sampe sekarang, gue sangat enjoy dengan Jogja.
Hal-hal yang membuat gue enjoy di Jogja adalah:
1. Ngga padet
Gue suka desek-desekan di KRL, gue terbiasa dengan kepadatan stasiun Tanah Abang, namun ketika gue di Jogja, gue udah ga pernah merasakan desek-desekan lagi di mana pun. Di Jakarta, gue terbiasa desek-desekan di depan rel stasiun, berlomba-lomba sama palang kereta, jalan merayap, kadang terlalu mepet sama pengendara motor lain, namun di Jogja gue ga merasakan itu, kendaraan punya ruangnya masing-masing, ngga saling berdempetan (kecuali lampu merah ye).
Oh, mungkin karena gue ga main di wilayah yang padet banget kayak Malioboro kali ya 👻
Tiap gue jalan pulang, gue merasakan tenangnya sawah kanan kiri. Sangat zen dan bikin hidup jadi ngga terlalu ruwet.
Hal ini yang bikin gue kaget tiap gue mudik, gue jadi tersadar bahwa damn Jakarta tuh padet banget dan di jalanan tuh sangat melelahkan!!!!
2. Kemana-mana deket
Ya gak deket kalo nongkrongnya di gunung padahal rumah lu di mana tau dah, tapi sejauh-jauhnya, palingan cuma 1,5 jam perjalanan, itu udah JAUH BGT itungannya.
Di daerah gue, kalo mau ngopi deket, mau ngafe ke tengah kota deket, mau yang rada gemerlap ya agak jauh dikit tapi tetep deket (bagi ukuran orang jakarta).
Perjalanan naik motor itu adalah metode paling ideal di Jogja, kalo naik mobil tanggung banget kalo ngga jauh-jauh banget jarak tempuhnya.
3. Ngga VISUAL ORIENTED
OH GOD JAKARTA DENGAN VISUAL ORIENTEDNYA!!
Kotanya gemerlap, tempat nongkrongnya fancy, penumpang MRT aja fashionnya keren-keren, sehingga kalau anda tidak dress up, maka akan sangat belang sekali.
Mbak-mbak store juga suka memandang remeh pengunjung yang ga dress up, kayak jutek ngelayaninnya.
Jakarta dengan sifat kapitalisnya, menilai seseorang dari daya beli, dan ini sistem yang normal karena Jakarta berpusat pada bisnis dan sumber perputaran uang. Daya beli bisa direpresentasikan dari penampilan, ini lumrah juga, ketika orang dapat membeli kebutuhan tersier dengan harga yang tinggi, artinya kebutuhan primer dan sekundernya memilki nilai berlipat-lipat melampaui itu, sehingga disimpulkan kemampuan ekonominya kuat. Orang dengan kemampuan ekonomi yang kuat udah pasti lebih potensial dalam membeli dagangan itu, sehingga yuk yang potensial kita kasih senyum hangat agar potensi bisa dikonversikan menjadi uang.
Sebaliknya, ketika seseorang ga terlihat memiliki daya beli yang tinggi, dianggap bukan calon pembeli, tidak punya potensi, dibiarkan begitu saja, buat apa ye diladenin, gitu kali ya pikiran mbak-mbak itu.
Dalam mencari klien pun dibutuhkan polesan kesuksesan duniawi ya, kalau kita keliatan ga sukses, gimana klien mau mempercayakann projek ke kita, kan gitu ya....
Intinya, di Jakarta, tampilan yang terpoles dengan sempurna memang jadi ujung tombak dalam ‘berniaga’.
Di Jakarta, gue selalu dandan walaupun tipis. Di beberapa acara pun gue harus terlihat terpoles seperti nona-nona keluarga kaya.
Di Jogja, hal-hal kayak gitu tuh ga ada...
Jogja bukan kota yang berorientasi pada jual-beli, Jogja bukan kota yang se-kapitalis Jakarta, tenant-tenant luar negeri kalau buka store ya di Jakarta, bukan di Jogja, jadi pertumbuhan kompetitor apapun itu ya ngga seganas di Jakarta, persaingan antar ekonomi pun skalanya tidak sesengit perusahaan-perusahaan Jakarta-based.
Jogja bukan kota industri, maka dari itu kita ga butuh merepresentasikan diri sebagai orkay yang punya daya beli untuk dapet rispek👷
Gue merasa ngga di-judge kalo kemana-mana cuma pake hijab instan, ngga dandan, cuek aja gitu. Gue ga dapet tatapan-tatapan merendahkan dari orang. Noh makeup gue teronggok tidak terpakai 😌
4. Standar hidup turun dan itu biasa aja
Sekarang gue kalo beli cemilan ya di toko cemilan kiloan, biasa aja.
Masak di rumah, ngga usah keseringan nongkrong atau makan di luar, biasa aja.
Makan malem di warung indomie pinggir jalan, biasa aja.
Entah mengapa semuanya biasa aja, kenapa? Karena garis perbedaan antara si kaya dan si miskin tuh di sini hampir melebur. Kalau di Jakarta, melakukan hal di atas tuh pasti membuat gue merasa ‘jir gue miskin banget ya huhuhuhuu, hidup gue jatoh banget’ karena kesenjangannya tinggi banget bro, kalau rada merakyat dikit udah langsung menganggap diri ‘tidak sukses’.
Jakarta emang menilai orang dari ‘harga’nya sih, itu yang membuat orang Jakarta ambisius, sangat produktif, inovatif, but at the same time... mentally exhausted.
Di Jogja ya biasa aja, ngga ada yang namanya ‘merasa miskin’, atau apapun itu.
Gue merasa lebih bebas dari nilai-nilai materialistik.
***
Gue merasa Jakarta dan Jogja adalah dua kota yang punya keindahan berbeda, sehingga gue ga bisa bandingin keduanya. Jakarta kota urban, Jogjakarta kota tradisi, dua-duanya punya faktor yang loveable banget.
Dulu, gue pingin masa tua gue di Jakarta, sekarang kalau masa tua gue di Jogja, i think it would be soooo beautiful and peaceful.
Even though i love both, kayaknya gue ga akan bisa kembali ke keramaian Jakarta sih WAHAHAHAHA. Kayaknya bakal stress kalau kerja di Jakarta dan bertemu dengan traffic-traffic itu.
So yeah, ternyata adaptasinya mudah dan indah. Semoga selamanya seperti ini.
Aku sbg warga perbatasan jogja magelang aja sungguh sangat tertekan ketika harus pindah ke kota industri kota baja. Bagaimanapun jogja itu tempat paling nyaman untuk apapun itu termasuk menghabiskan masa tua nanti karena hidup perlu slow living santuy 🤣
BalasHapusGw juga bisa dikategorikan anak kota di mana segalanya ada, yg dihadapkan pada kenyataan utk pindah ke sebuah kabupaten setelah menikah 14 tahun yang lalu. Dan tahun ini kami memutuskan untuk kembali ke kota besar, lalu...gue nangia dong sejadi-jadinya karena kerasa kok kota ini jadi terlihat sumpek. Ini bikin gw dan suami galau mau balik aja ke kabupaten, tapi anak kami sudah betah dengan hiruknpikuk kota besar, dan sudah bersekolah dinsini. Sepertinya kami akan kembbali lagi ke kabupaten, hahaha
BalasHapusKalau saya si memang suka banget nih kak dengan Jogja karena tempatnya yang indah banget
BalasHapusWah bisa pergi ke Jogja nih ya kak, seru banget nih pastinya bisa berada di sana
BalasHapusKangen banget sama Jogja, habis baca postingan kakak jadi ingat beberapa moment spesial yang ada di Jogja hehe
BalasHapusMemang jelas terlihat ya kak perbedaannya kalau habis ke kota Jakarta lalu ke Jogja yang menenangkan hehe
BalasHapusKalau saya si suka ke Malioboro kak kalau sedang ke Jogja hehe soalnya banyak orang jualan oleh-oleh
BalasHapusSaya baca ini ikut senang dengan adaptasi Mba Nahla. Dulu yg anak Jkt bgt bisa beradaptasi dengan budaya Yogya dengan nyaman.
BalasHapusSaya kebalikan. Dari ibu kota Jateng pindah ke Jkt krn suami kerja di Jkt. Awal2nya berat tinggal di Jkt dan nggak ada saudara. Lama2 enjoy, mau nggak mau harus dijalani krn sudah jadi keputusan bersama. Bener, di Jkt satset dan apa2 serba cepat.
Selamat menikmati hidup baru ya, Mba.