Jaman sekarang, informasi udah gampang banget diakses. Informasi-informasi tersebut yang tadinya eksklusif, sudah menjadi inklusif. Informasi-informasi tersebut juga banyak banget yang bermanfaat buat kebutuhan interpersonal kita, ngga hanya untuk kebutuhan akademis. Jaman dulu, kalo nyari artikel soal Global Warming, gue harus potong-potong koran, ubek-ubek koran, tempelin di satu kertas HVS untuk dirangkum, buat besoknya dipresentasiin di depan kelas. Jaman dulu, kalo gue ngga bisa kerjain soal matematika, gue hanya akan meratapi langit-langit dan menggumam "yah yaudah lah", sekarang gue bisa mecahin soal matematika di website generator rumus matematika. Duh, kenapa ya gue ga hidup di jaman ini aja pas gue masih jadi pelajar? Kan asik ya!
Informasi tentang hubungan interpersonal dan intrapersonal juga udah beragam banget, dari yang berat sampe yang receh. Sebut aja teori teori soal Love Language (HAHAHA INI GUE), zodiak beserta moon dan rising-nya, dan hal receh lainnya. Di tingkat yang lebih serius, kita juga mengenal soal identitas gender, pronouns, yang membahas bagaimana kita mengidentifikasi dan mendefinisikan gender kita. Di kolom KTP, "jenis kelamin" itu hanya ada laki-laki dan perempuan (ya gue ga tau kalo intersex masuknya kemana huhu). Lalu ada yang namanya identitas gender. Kalo kata wikipedia (duh udah S2 kok masi mencatut Wikipedia si), "Identitas gender adalah pengertian dan kesadaran seseorang mengenai gendernya sendiri. Identitas gender seseorang dapat selaras dengan seksnya yang ditunjuk saat lahir atau justru sepenuhnya berbeda".
Jadi begini, kalo secara medis lo laki-laki, secara identitas lo bisa 'merasa' kalo lo laki-laki, perempuan, keduanya, atau bukan keduanya. Identitas gender itu, dalam teorinya, adalah gender dirasa cocok dengan kepribadian dan ekspresi diri.
Sebagai anak cisgender (sebutan dimana seseorang merasa selaras dengan jenis kelaminnya), gue kurang lebih sering menyaksikan orang-orang yang merasa "gue lebih ke arah cewek/cowok deh dibandingkan jenis kelamin yang gue punya". Ya, ada sih, ada aja.
Contohnya, mahasiswa yang sedang viral karena dia secara terbuka mengaku bahwa ia non-biner, sebuah identitas gender dimana dia ga merasa bahwa dia laki-laki/perempuan. Entah dia tidak merasa condong ke jenis tertentu, atau ngga mau diberi label aja.
Lalu setelah pengakuan itu, menurut yang gue baca, kampusnya memberikan surat teguran, atau dikeluarin apa yak? Pokoknya begitu lah ya, pernyataannya direspon buruk oleh pihak kampus.
Kasus ini heboh, terutama di komunitas yang mengampanyekan soal keragaman gender. Mereka merasa identitas gender adalah hal yang tidak pantas diintervensi oleh instansi apapun karena berkaitan dengan hak asasi manusia. Kenapa mahasiswa ini harus dihakimi berdasarkan identitas gendernya? Kira-kira begitu isi protesnya.
Menurut gue, anak ini ga salah kalau ia mengidentifikasi dirinya sebagai apapun yang dia rasakan, terserah, itu wewenang dirinya sendiri, namun setelah 26 tahun gue hidup, gue belajar bahwa tiap tempat ada 'cara'nya, tiap ruang ada 'identitas'nya, tiap forum ada 'aturan'nya, terutama di tempat yang berkaitan dengan banyak orang, banyak faktor, dan kepentingan, seperti instansi pendidikan.
Selama 26 tahun gue hidup, gue belajar bahwa tiap pengakuan, ada tempatnya. Tiap dialog, ada tempatnya. Tiap ekspresi, ada tempatnya. Menurut gue, itulah yang dinamakan berpolitik kasta kecil-kecilan, ketika kita bisa berperan dengan tepat di tempat yang tepat. Hal ini ngga bisa diartikan jadi membohongi diri sendiri, tapi kritis sama kondisi yang kita tempati saat ini.
Sesederhana begini deh yak, elu abis party dengan temen-temen kantor lu, masa iya lu cerita apa yang lu lakukan ke dosen pembimbing lu? "Pak maaf saya baru kirim film bimbingan jam segini, karena saya abis minum sama temen-temen saya". Untuk apa informasi itu diucapkan? Cap apa yang mau diperoleh? Kesan apa?
Atau misalkan gini, lu lagi di tongkrongan baru, kenalan baru, temen-temen baru, terus di situ, elu cerita soal kisah pedih lu soal kondisi di rumah yang KDRT, pacar yang tukang boong, temen yang bawa pergi duit lu. Apakah forumnya cocok? Cocok kalo lu emang sengaja pengen dimusuhin, sok aja silakan. Tapi kalo lo niatnya mau bersosialisasi dan memperluas pergaulan, ya jangan bahas itu.
Pun jika memang ada yang sengaja bertanya soal kondisi hubungan lo, apa iya saat dipancing pertanyaan begitu, lo langsung membeberi semua aib-aib pacar lo? Kan nggak ya... tetap harus ada yang difilter. Kenapa? Karena, 1) kita ngga tau respon dan konsekuensi yang akan kita dapat, 2) informasi itu ga berguna untuk dikonsumsi orang lain, 3) read the room.
Begitu juga opini gue soal anak yang mengaku non-biner di kampus. Ingat, ruangnya harus dibaca, dia akan bicara di mana? Resikonya apa saja kalau dia open soal identitas gendernya di instansi pendidikan di Indonesia yang masih sangat konservatif? Apakah manfaatnya akan lebih besar dari kerugiannya? Kalau terjadi hal buruk, apakah hanya dia yang menanggung resiko itu? Apakah melibatkan orang tua yang membiayai dia? Apakah melibatkan CV dan peluang kerja di masa depan yang masih mendahulukan ijazah kuliah?
Apakah artinya dia harus berbohong? Nggak juga. Jawablah, "di KTP saya, saya laki-laki". Titik. Aman, diplomatis, dan ngga bohong juga ya.
Lagipula, menurut gue pertanyaan "kamu laki-laki atau perempuan?" Sebagai respon dari gestur tubuhnya yang mungkin kurang maskulin, adalah pertanyaan retoris yang tidak usah dijawab. Jawablah dengan sat set sat set diplomatis minta maaf dan boom masalah kelar dan kamu bisa menjalani hidupmu seperti biasanya.
Terlepas dari pertanyaan "kamu laki-laki atau perempuan?" Yang rada nganu dan tendensi mempermalukan, kita harus bisa baca pesan tersirat di balik pertanyaan itu. Begitulah cara orang dewasa bertahan hidup di tengah kerasnya dunia 😂
Maka, tidak terang-terangan mengakui identitas gender di ruang tertentu, bukanlah sebuah tindakan denial, tapi tindakan politis.
Toh kamu masi bisa open ke sahabat-sahabatmu, dating apps-mu, YouTube-mu, instagram, media sosial apapun itu. Berbicara topik gender (yang masih sulit diterima di konteks budaya Indonesia), butuh ruang dan orang yang tepat. I'm so sorry but it is what it is.
Don't hate Indonesia too much though, membenci budaya Indonesia bisa membuatmu jadi ga mikir cara menghadapi situasi-situasi seperti ini.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Halo..
Semua komentar akan dimoderasi, jadi jangan kasar-kasar yaaa...
Kritik dibolehin lah pastinyo, cuman yang membangun eaaa~