Gua udah pernah cerai, udah pernah mengalami drama skala besar maupun kecil, udah pernah mengalami yang namanya ditolak entah ditolak cowok atau ditolak artikelnya, and i thought: my mentality is growing.
“Yes, mental gue berkembang nih, gue udah makin kuat nih, strong woman uhuyyy”
Gue merasa tiap kita berhasil melewati satu momen berat - either in a smooth way or not - maka poin ‘mental baja’ gue akan bertambah, gue akan lebih kebal kalau disakiti. Mental yang gue punya sudah pasti mental yang sangat strong - maunya sih gitu.
Ternyata, ngga juga, ternyata sama aja.
Kalau gue udah pernah mengalami penolakan di masa lalu dengan air mata, bukan berarti gua ga akan nangis ketika gue mengalami penolakan di masa depan. Ketika gue udah mengalami perpisahan yang perih di masa lalu, bukan berarti perpisahan di masa depan menjadi less-perih. Ternyata yang namanya rasa sedih tuh sama aja.
Gue mikir, “apakah gue adalah orang yang ngga belajar dari masa lalu?” TAPI NGGA JUGA LOOH hahahaha, ih enak aja! Gue merasa keputusan yang gue ambil makin bijak kook dibanding yang dulu, gue merasa gue berkembang kok secara individu.
Tapi yang jadi pertanyaan adalah, “Kenapa masih sedih aja sih, padahal dulu kan pernah mengalami hal yang serupa?”
Loh iya, gue juga pingin tau jawabannya :))
Kenapa kalau mengalami penolakan, masih murung?
Kenapa kalau mengalami kegagalan, masih merenung?
Kenapa kalau lagi ga merasa spesial, masih nangis?
Bukannya kita harusnya udah belajar merelakan? Bukannya harusnya kita udah biasa? Bukannya harusnya mental baja kita makin terasah, namun apa yang berubah?
Menurut gue, yang berubah dari sikap gue dalam menghadapi kesedihan itu bukan masalah nangis atau nggak, down atau ngga, lemes atau nggak, tapi... penyalurannya! 😀
Dulu gue tuh kalau nangis bisa nangis di tempat itu SAAT ITU JUGA, apapun tempatnya deh; restoran, atas motor, dalam mobil, di parkiran, di manapun deh. Sekarang gue tetep nangis, tapi hanya ke orang tertentu aja. Gue udah paham dimana dan gimana bisa menyalurkan rasa sedih gue, karena saat dewasa gue sadar bahwa gue ga boleh sedih di sembarang tempat, karena kesedihan gue mempengaruhi mereka yang melihatnya. Gue baru sadar kalau kesedihan yang dipertontonkan itu beban emosional bagi yang menyaksikan.
Hal ini ngga bisa dibilang ‘lebih baik’, karena yang berubah hanya penyalurannya aja, bukan mindsetnya. It would be nice kalau gue bisa nulis something like, “sekarang gue berdamai dengan berbagai macam penolakan dan kegagalan karena gue tau it’s just another bad day not a bad life” but i have not reach that phase yet.
Deep down inside, i knew that i have that big portion of rationality in me. But my rationality sometimes not being able to function properly because i have that big portion of sentimentality too.
Gue bisa banget jadi cewe yang sangat rasional, pun bisa jadi cewe yang sangat sentimental, termasuk ketika lagi sedih. Biasanya, kalau gue mau mengesampingkan sisi sentimental gue agar bisa berpikir rasional, gue mengganti sudut pandang jadi sudut pandang orang ketiga.
Bayangkan kalo temen gue mengalami peristiwa kaya gue, kira-kira gue bakal nasehatin apa aja ya? How would i react? How would i see them as? Kira-kira kesedihan yang gue rasain terlihat kaya gimana ya? Apa jangan-jangan terlihat bodoh?!
Imagine if my best friend - in example - being insecure because she feel that she isn’t pretty enough even though she IS.
Kalo rasa itu yang gue rasain secara pribadi, gue pasti sulit untuk melihat kelebihan diri sendiri.
Tapi kalau rasa itu dirasakan oleh temen gue, gue pasti akan merasa, “DIAM ANDAAA TOLONG NGACA SEBENTAR YAAAAA ANDA KAN BUKAN HANYA WAJAH SEMATA”
Ini kejadian banget sama salah satu temen gue, dia ngetweet bahwa dia merasa dia kurang pintar, EVEN THOUGH SHE’S CURRENTLY DOING HER PHD DEGREE WITH FULL SCHOLARSHIP and i was like...
like...
so normal. Ternyata kita emang ga bisa liat kelebihan kita kalau kita lagi sedih dan merasa ngga spesial, ternyata kepercayaan diri itu mudah crumble dari faktor eksternal, dibilang punya mental lemah? Ngga juga, karena kita pun meraih nilai yang kita punya dengan perjuangan dan mental baja, ngga bisa disebut lemah kan kalau seumur hidup kita ngejar cum laude, ngejar skill, ngejar apapun yang bisa dikejar. Insecurity hanya 1 lubang di antara jalan yang kita bikin, walaupun memang super beracun sih.
Namun yang bisa gue lakukan hanya itu: switch angle.
Karena balik lagi; gue yakin gue rasional. I’m good at giving advices, masalahnya skill itu suka ilang kalau kepala kita lagi berkabut, dan ngga apa-apa, coba kita berusaha bersihin kabut itu walaupun dengan cara yang ‘sefake’ switching angle.
Pada dasarnya, perjalanan coping with sadness ngga akan ada habisnya dan akan selalu berubah. Sekarang teknik switching angle bisa berfungsi, kalau nanti? Belum tentu.
Makanya, yuk kita selalu ngulik diri sendiri. What works and what’s not.
Aku pun merasakan hal yang sama ~
BalasHapusSudah lama ga main ke sini,, Suka dengan header baru yang "Nahla banget", kaget pas baca kalimat pembuka :'( Semangat terus Nahla!!
BalasHapussama kak, gue mencoba berdamai sama kesedihan dengan pasang "it’s just another bad day not a bad life" di wallpaper hape, emang perlu diingetin mantra itu berkali2 biar sisi waras gue tetep berfungsi
BalasHapusterus sekarang lagi sedih juga, baca postingan ini rada plong dikit, thanks kak
Jangan terlalu sering juga, nanti jadi luka batin dan ngeborok deh.
BalasHapusPerlu pelampiasan yang positif, supaya kembali jadi nol lagi.